|
BAU-BAU.....
Pada mulanya, Bau-Bau merupakan pusat Kerajaan Buton (Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15. (1401 – 1499).
Buton mulai dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah tercatat dalam naskah Negara kertagama karya Prapanca pada tahun 1365
Masehi dengan menyebut Buton atau Butun sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi, dimana terbentang taman,
didirikan lingga dan saluran air, Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertamakali dirintis oleh kelompok mia patamiana (si empat orang) Sipanjonga,
Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir
abad ke – 13.
Buton sebagai negeri tujuan kelompok Mia Patamiana mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio ( saat ini berada
dalam wilayah kota Bau – Bau ) serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah
Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga
lebih dikenal dengan Patalimbona. Ke empat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana
dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja.
Selain empat limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula,
Todanga dan Batauga, maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru
yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit)
menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto / patalimbona ( saat ini hampir sama
dengan lembaga legislatif ).
Dalam periodisasi sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai
pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa
Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang
istimewa dalam masyarakat Buton.
Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di kerajaan Buton pada tahun 948 Hijria ( 1542 Masehi
) bersamaan dilantiknya Lakilaponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada
Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.
Masa pemerintahan kerajaan, Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah
kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi
mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang
kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain).
Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan
pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya
mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat Kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya sistem Desentralisasi
(otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat
dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton 12 orang menyalah gunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu
diantaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara digogoli ( leher dililit
dengan tali sampai meninggal ).
Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping
sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona ( saat ini
hampir sama dengan ketua lembaga legislatif ).
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya sistem pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)”
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)”
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)”
“Yinda Yindamo Sara somanmo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)”
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata ( Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa ), empat matana
sorumba ( Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Selain
bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu – kubu pertahanan
dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman.
Kejayaan masa Kerajaan / Kesultanan Buton ( sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya
telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan
sejarah, budaya dan arkeologi.
Saat ini wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten
Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau – Bau ( terdapat Keraton Kesultanan Buton).
|